Rabu, 23 Juni 2010

EVENT PARIWISATA KAB. WAJO

I. PESONA DANAU TEMPE 2009
SELAYANG PANDANG


Pesona Danau Tempe 2009 dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 2009, yang dipusatkan di Kawasan Wisata Sungai Padduppa. Acara ini berlangsung meriah karena diikuti oleh Pemerintah dan lapisan masyarakat Kab. Wajo. Dilaksanakan untuk menambah daya tarik wisata Kab. Wajo melalui event budaya nelayan pesisir Danau Tempe, pelestarian budaya serta mempromosikan Danau Tempe sebagai ikon pariwisata internasional sehingga diberikan tema “ Pesona Danau Tempe “.
Beberapa pagelaran yang ditampilkan pada event Pesona Danau Tempe 2009 seperti aktraksi Drumband pelajar binaan Baso Amsal, S.Pd, aktraksi Pencak Silat Seni Wiraloka binaan Drs. Andi Jemma Radeng, atraksi layang-layang tradisional yang meraih juara I Tingkat Sul-Sel, parade perahu tunggal bermesin yang diikuti oleh para nelayan se Kab. Wajo dan Kabupaten tetangga yang memiliki integritas dengan Danau Tempe, serta perlombaan perahu dayung yang terdiri dari klas I, II, & III, dan lomba Olah Raga tradisional “ Mallongga” tingkat SD Se Kec. Tempe dan lomba perahu tunggal bermesin/dompeng.

Sebagai wujud kepedulian Pemerintah Kab. Wajo dalam pelestarian kebudayaan local, event Pesona Danau Tempe dihadiri dan dibuka langsung oleh Bupati Wajo Drs. Andi Burhanuddin Unru, MM dan jajarannya serta untuk memeriahkan acara, beberapa Muspida dan pejabat Pemerintah Kab. Wajo turut menyumbangkan lagu masing-masing. Event ini oleh organizer oleh bidang Pariwisata Disporabudpar Kab. Wajo.


Atraksi Drumband yang ditampilkan untuk menjemput rombongan Bupati Wajo serta wisatawan yang dikuti oleh peserta.


Atraksi Pencak Silat Seni Wiraloka yang dilakukan pada saat penjemputan wisatawan dan rombongan Bupati Wajo atau tamu agung.

Bupati Wajo Andi Burhanuddin Unru, MM Kadis Porabudpar Drs. Jasman Juanda,M.Si dan Pembina Pencak Silat Drs. Andi Jemma Radeng berada di kawasan pelaksanaan Pesona Danau Tempe 2009.


Para peserta perahu hias tunggal bermesin siap untuk melakukan parade dihadapan para wisatawan dan Bupati Wajo serta jajarannya. Perahu dihiasi dalam berbagai bentuk unik dan menarik hingga mendapat teriakan dan tepuk tangan dari wisatawan.


Lomba perahu dayung berlangsung meriah dengan mengedepankan Fair Play yang diikuti oleh kelompok nelayan di seputaran Danau Tempe.


Peserta lomba perahu dayung mendapatkan sambutan dan teriakan dari supporter masing–masing serta antusias wisatawan menikmati lomba perahu dayung.


Lomba perahu mesin diikuti oleh para nelayan pesisir Danau Tempe, sangat menegangkan wisatawan karena tantangan yang dihadapai para pengendara sangat berat, namun berjalan dengan baik tanpa kendala bagi pengendara.


Peserta Mallongga melakukan parade sebelum memulai perlombaan dihadapan wisatawan dan supporter masing–masing lomba. Ini dilaksanakan dihalaman Tourist Information Centre (TIC) dan Panggung Kesenian Padduppa.


Lomba Mallongga tingkat Sekolah Dasar se Kecamatan Tempe berlangsung dengan seru disertai teriakan dari supporter masing – masing. Sehingga wisatawan banyak berpindah ke lokasi perlombaan dan banyak diantaranya mengambil gambar perlombaan yang dianggap unik tersebut.

Minggu, 07 Februari 2010

SELAYANG PANDANG KABUPATEN WAJO

Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan. Ibukotanya Sengkang, sekitar 242 km dari kota Makassar (ibukota Propinsi Sulawesi Selatan). Dapat ditempuh sekitar 4 jam dengan menggunakan mobil. Dari kota Pare-Pare, pusat kawasan pengembangan ekonomi terpadu di Propinsi Sulawesi Selatan, sekitar 87 km.
Daerah ini terletak pada koordinat antara 3o39’ sampai 4o16’ lintang selatan dan 119o53’ sampai 120o27’ bujur timur. Di sebelah selatannya berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu, di sebelah timur dengan Teluk Bone, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sidrap.
Kabupaten Wajo mempunyai wilayah seluas 2.506,19 km (4,01 % dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan). Berada pada ketinggian 0 hingga 500 m di atas permukaan laut, dihuni oleh sekitar 400.000 penduduk secara administratif, wilayah tersebut dari 14 kecamatan, 45 kelurahan, dan 131 desa, terbagi dalam 4 dimensi, yaitu tanah berbukit, dataran rendah, danau dan laut. Lahan berbukit terbentang dari selatan ke utara. Dataran rendah terletak dibagian timur, selatan, tengah, dan barat. Danau terletak dibagian barat yaitu Danau Tempe. Penghasil terbesar ikan air tawar di Propinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan pesisir pantai membentang di sebelah timur, menghadap Teluk Bone, sepanjang 103 km garis pantai.
Kabupaten Wajo memiliki iklim tropis dengan suhu udara antara 29 sampai 30oC, kelembaban udara berkisar 74 sampai 82 %, dengan kecepatan angina rata-rata 1,30 m per detik. Rata-rata curah hujan pertahun berkisar 3.000 mm dengan 120 hari hujan. Bulan April sampai Juli merupakan musim hujan, dan bulan Juli sampai Oktober merupakan musim kemarau. Sedangkan antara bulan Nopember sampai Maret merupakan musim lembab.

KAWASAN WISATA ATAKKAE
Kawasan wisata atakkae adalah salah satu kawasan yang memiliki daya tarik tersendiri yang memikat, memberikan pengalaman fantastis bagi wisatawan, serta menambah pengetahuan pengunjung. Hamparan danau Lampulung yang sangat menarik, menyajikan panorama alam yang natural, dengan latar belakang kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan tradisional, terdapat berbagai jenis burung dengan kicauannya yang menyambut dan menyapa pengunjung, semilir angin menambah kesejukan kawasan ini. Dalam kawasan, terbangun rumah adapt besar yang memiliki 101 tiang yang dinamakan “SAORAJA LATENRIBALI”, yang didalamnya terdapat showroom alat nelayan tradisional yang dapat memberikan gambaran kehidupan nelayan Wajo, dan terdapat pula beberapa rumah tradisional yang dibangun oleh instansi pemerintah, kecamatan, dan swasta yang ditata dalam kawasan ini, sehingga sangat potensial untuk menyelenggarakan kegiatan seperti pameran, konferensi, rapat, pertemuan, dan kegiatan impresariat yang dilengkapi fasilitas pendukung. Setiap tahunnya, dalam kawasan ini diselenggarakan atraksi budaya, scout camping, olahraga, dan kegiatan lainnya.

GOA NIPPON
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang dunia II, ada goa yang berbentuk huruf “L, I, U” dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin berimajinasi dan bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa sejarah ini sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru tentang zaman pendudukan Jepang di Kabupaten Wajo.

KAWASAN WISATA BENDUNGAN & KOLAM RENANG KALOLA
Kawasan ini sangat representative untuk rekreasi pada saat liburan dan berakhir pecan. Bendungan yang berdiri kokoh dengan latar belakang hamparan air yang luas dan kegiatan nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan peralatan tradisional. Di sekitar kawasan terdapat kolam renang yang dilengkapi dengan pondok wisata ssebgai tempat peristirahatan dan akomodasi yang ingin menginap. Terdapat hutang lindung yang lebat, sangat menarik wisatawan yang suka berpetualang dan trakking. Wisatawan dapat memancing dan mengadakan perkemahan di lokasi tersebut.

DANAU TEMPE
Danau Tempe sebagai salah satu daya tarik wisata alam unggulan termashur di Sulawesi Selatan, setiap tahunnya telah banyak dikunjungi berbagai wisatawan mancanegara dari berbagai negara maupun wisatawan dari berbagai daerah. Waktu yang ditempuh untuk sampai pada pertengahan areal Danau Tempe diperkirakan selama 30 menit dengan perahu motor (katinting). Dalam perjalanan wisatawan dapat menyaksikan atraksi berupa kegiatan masyarakat pesisir Danau Tempe dan Rumah Terapung bernuansa bugis sepanjang tepian danau.
Di tengah danauterdapat perkampungan terapung nelayan yang menghiasi danau yang luasnya ± 13.000 hektar. Aktivitas nelayan menangkap ikan dengan peralatan tradisional, pengolahan ikan hasil tangkapan dan hilir mudik nelayan dan masyarakat mencerminkan keunikan budaya nelayan khas Kabupaten Wajo. Wisatawan dapat menikmati panorama alam sambil menyaksikan berbagai jenis burung sedang menyambar ikan yang muncul di permukaan air, sesekali kicauan burung mengiringi perjalanan wisatawan dan berbagai jenis bunga air bertebaran dihampir seluruh kawasan menambah keindahan danau. Sambil bersantai di atas perahu, wisatawan dapat memancing sambil menyaksikan terbitnya matahari di ufuk timur dan terbenamnya matahari di ufuk barat dan pada malam hari wisatawan dapat menikmati terang bulan bagi yang menginap di rumah nelayan.
Setiap tahunnya, masyarakat nelayan mengadakan upacara ritual “Maccera Tappareng” atau mensucikan danau agar lebih produktif dengan penyembelihan hewan kurban dan penyediaan sesajen. Dengan memeriahkan acara ritual ini maka diadakan berbagai pagelaran atraksi kebudayaan khas Kabupaten Wajo, sehingga akan terpadu antara atraksi kebudayaan dan keindahan alam Kabupaten Wajo.

AGRO WISATA SUTERA
Pengembangan sutera Kabupaten Wajo tidak hanya menarik pebisnis dunia pasar, tapi nilainya yang tinggi dan proses pembuatannya menimbulkan rasa penasaran bagi pecinta wisata agro untuk datang. Penghasil kain terbesar di Sulawesi Selatan yang terbuat dari bahan kokon yang merupakan hasil pemeliharaan ulat sutera, dibuat dari serat sutera yang dihasilkan oleh larva matang yang pakannya adalah daun murbei. Kemudian dipintal menjadi benang sutera. Proses pemintalan dari benang, kain, dan kemudian menjadi sarung merupakan atraksi sendiri bagi wisatawan. Saat ini, penanaman daun murbei hingga pengembangbiakan dan pemeliharaan ulat sutera telah masuk dalam daftar kunjungan. Puas rasanya berkunjung di kota ini jika pulang dengan membawa souvenir yang terbuat dari kain sutera untuk keluarga dan sahabat.

KAWASAN WISATA PADDUPPA
Kawasan wisata Paddupa terletak pada areal tepian sungai Cenranae merupakan salah satu daya tarik wisata yang banyak dikunjungi wisatawan lokal dan terkadang wisatawan asing untuk melihat kegiatan masyarakat seperti mencuci, mandi, memancing, dan menangkap ikan dengan menggunakan alat tradisional. Di salah satu tepi sungai dimanfaatkan sebagai pasar malam menjual cakar (pakaian bebas) pada setiap malam minggu. Untuk mencapai tepian yang lain dapat ditempuh dengan menggunakan jembatan gantung. Di areal ini terdapat Ria Café yang menyajikan berbagai makanan dan minuman sambil menyanyikan lagu kesayangan wisatawan, terdapat pula Pusat Pelayanan Informasi Wisata yang dapat melayani wisatawan yang ingin mengetahui potensi kepariwisatawan Kabupaten Wajo, serta panggung yang dapat digunakan untuk latihan menari, pertunjukan, dan lain-lain.

ATRAKSI PERNIKAHAN
Atrakasi pernikahan dan ritual lainnya dapat disaksikan, yaitu Mappacci, Mappanre Lebbe, dan Mappasilellung Botting. Mappaci merupakan sejenis rangkaian proses dalam pesta perkawinan yang dilaksanaksan dengan melettakkan daun pacar (pacci) dari sanak keluarga kepada tangan pengantin sebagai bentuk pensucian diri. Mappasilellung Botting dilaksanakan setelah malam usai pesta perkawinan, dimana pengantin pria selalu mengejar wanitanya sebagai upaya untuk saling mengakrabkan pengantin.

SITUS TOSORA
Objek wisata ini terletak sekitar 16 km di sebelah timur Kota Sengkang. Tepatnya di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini dapat dijangkau dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Tosora adalah daerah bekas ibu kota Kab. Wajo sekitar abad ke-17 . wilayah ini dikelilingi 8 buah danau kecil. Banyak peninggalan sejarah dan kepuberkalaan yang terdapat di sini, misalnya makam raja-raja Wajo, bekas gedung amunisi kerajaan (geddong), mesjid kuno yang yang dibangun tahun 1621, dan makam yang bernisan meriam. Di sini juga terdapat sumur “Bung Parani”, tempat prajurit-prajurit tempo dulu dimandikan sebelum terjun ke medan perang.

PUSAT WISATA KULINER “TUAK MANIS” PALAGUNA
Bagi wisatawan atau pengunjung yang ingin menikmati sajian minuman tradisional “Tuak Manis”sambil bersantai bersama keluarga, kerabat, dan kolega dapat mengunjungi Palaguna sekitar lima menit dari kota Sengkang (Akses menuju Kabupaten Soppeng) dengan transportasi baik dan lancar.

Sabtu, 12 Desember 2009

CULTURE

Wajo is well known for its very old cultural heritage. During the ancient Bugis era, before Islam came, the Old Wajo Kingdom had practiced an intensive law enforcement, even systematical Trade and a Maritime Laws were established by the famous “Ammanagappa” and practiced early in the mid centuries.

The Wajo culture like other Bugis Tribes in South Sulawesi, also use “Bugis Character” for written communication. Some famous Bugis literatures (e.g. Lontara) were written in Bugis Characters and still kept in the museum libraries now.

The typical Bugis alphabet consists of some twenty three characters, written and pronounced as follows:


Some traditional ceremonies are still practiced up to now, others are only performed on the special occasions. Traditional wedding, for instance are still widely practiced, even by the highly educated society. Traditional agricultural practices and other rules of lives are still predominating the rural dwellers. A variety of dances for particular ceremonies are still practiced and maintained consistently, for instance, the welcome dancing, the ritual dancing, rice planting, harvesting, silk weaving, and so on.

INTRODUCTION

The Wajo Regency is one of the oldest regencies of South Sulawesi Provincial Administration, located at the center-east coast of the South Sulawesi Peninsula, extended north to south between 3o39’ and 4o16’ of the East Latitude, east to west between 119o53’ and 120o27’ of the East Hemisphere. To the north it is borderers the Luwu and Sidrap Regencies, to the east Bone Gulf, to the south of the Soppeng and Sidrap Regencies.

The capital city of the Wajo Regency is SENGKANG, located at the east coast of the famous Tempe Lake, the largest fish producing fresh water lake in the southern part of Sulawesi Island, with a distance of approximately 240 km from Ujung Pandang (the capital city of the South Sulawesi Province).

The population in majority are basically of Malay heritage and are mostly of the Bugis ethnic group which speak and write “Buginese”. The “Bahasa Indonesia” or the Indonesian Language is used as an official national language like other regions in Indonesia. Islam is mostly the predominant religion, and Wajo has long been known as the center of Islamic studies since the ancient Bugis civilization. Most of the Wajo people are identified ethnologically as the trade talented people, besides their famous democratic philosophy which is descended from generation to generation until this day.

CLIMATE

Like other regions along the equator, the climate in Wajo Regency is also tropical with high humidity, heavy rainfall and slight changes in temperatures ranging between 20 to 30 degress Fahrenheit. The Wet Monsoon season is normally longer than the dry seasion, with an annual average precipitation of about 2,131 mm. The average humidity is ranging between 60 to 90 year round.

TOPOGRAPHY

The Wajo Regency in general is located mostly at the vast flat land with the elevation ranging between 0 to 500 meters above sea level. Almost 84% of the area are at the elevation between 0 to 25 meters above sea level, only 13% of which is located at the elevation between 25 to 100 meters above sea level, 3% above 100 to 500 meters, and only about 200 ha (0,90%) is located at the elevation around 500 meters above sea level. Two main rivers are flowing to the Tempe Lake, namely the Bila and the Walanae Rivers.

Having the above topographical condition, the Wajo Regency has long been identified as the strategic area for its three distinct topographical conditions, sea and lake areas, high-lands, and a vast low-land plains. Further more, the area is also located mostly at the river basins such as, Cenranae, Walanae, Bulete, and Gilireng rivers. This geographical situations make this area is potential for agriculture, forestry, cattle breeding and fisheries development. However, the development of this potential is still needed to enchanted the productivity of Wajo area.

HISTORICAL BACKGROUD

The historical background of Wajo Regency has a very long coherency with the old Kingdom of Wajo, which is known to be very unique and consistent in their democratic principles. The ruling principle of the “Old Wajo” Kingdom during the mid centuries was based upon the power of the “Arumpanua” which was not practiced by any other kingdom that day. The principle of arumpanua is based upon the nation that the ruler and the people together were regarded as the power holder and the kingdom’s owner, which were subject to the customary laws of the land. The people regarded the rules as the servant of the people. Their master was not the ruler but the Ade Assituruseng or the customary through descendant but elected by an “Lembaga Adat”.

The most popular democratic principle of the Old Wajo Kingdom is now engraved permanently at the coat of arms of the Wajo Regency as: “MARADEKA TO WAJOE ADENA NAPOPUANG” which literally meant the Wajo people are fully having their freedom, and only the rules of their traditional laws are regarded as their master.

The establishment of Wajo as a regency was officially inaugurated in 1957 in accordance with the State Law No. 4/1957, having the privilege of an autonomous territory like the early established regencies in Indonesia.

During the early stage of its establishment until 1963’s, the area development process of Wajo was hampered by the instability of security affairs due to the rebellion of DI/TII Movements. And only two year later, a communist rebellion in Indonesia has brought the country into a very difficult situation, including Wajo Regency as a new founded local government administration.

The implementation of an intensive development in Wajo could only be initiated earlier in 1969’s parallel to the national “Five Years Development Plan (REPELITA)” of the central government since than, the area development process covering all sector in the Wajo Regency has been intensified to advance the intellectual life of the population in the region, and to contribute toward the country’s prosperity based on freedom, peace and social justice.